Selasa, 13 Desember 2016

Biarkan Cinta Beracara

Cinta adalah membuat dirimu dicintai tapi harus menuntutnya untuk mencintai dirimu menurut caramu, kan?
Bukankah cinta sejati itu memang bekerja menurut caranya sendiri. Ku kira begitu, sehingga untuk membiarkanmu tetap tidak mengetahui apa yang memang ingin tidak ingin kamu ketahui padahal yang sesungguhnya ku ingini kamu mengetahui itu, ku biarkan terjadi, karena percaya cinta bukan selalu tentang menalukkan dia untuk tunduk pada cara kita.

Apa kamu tahu aku suka anggrek bulan?
Aku sering melihatnya saat kita berdua dalam perjalanan pulang, seorang bapak-bapak penjual bunga di sisi jalan menggawangi pot-pot bunga seperti seorang bapak sedang menjaga anak gadisnya, dan ya lebih sering tersenyum sendiri di belakang setiap kita berdua melewati barisan bunga itu. Walau aku tahu, diriku hanya sedang tersenyum sendiri, sebab kau tidak turut tahu tentang kesukaanku itu.

Apa kamu tahu aku suka lemon tea?
Aku sering membelinya di restaurant dekat kantorku saat ku rasa hari sedang berat, dan bahuku tak mampu memikulnya, saat ku rasa hari terlalu melebar dan kepalaku tak mampu menampungnya. Setiap sentuhan lemon tea di bibirku ikut tertelan namamu, ya meski ku tahu kau tidak pernah sadar hal ini terjadi di setiap hari-hari berat.

Apa kau tahu bagaimana aku memakan dada ayam?
Tak jarang kita makan dengan menu yang sama, kalau aku pesan paha ayam, biasanya kau juga, kalau ku pesan dada ayam, biasanya kau juga, memang ikut-ikutan kau itu. Tapi aku tahu bahwa kau tidak pernah memerhatikan sikap makanku, selain tentang kebiasaanku yang kesulitan menghabiskan nasi, karena hal itu memang mencolok. Tapi apa kau menyadari satu kebiasaanku yang berulang? Tentang dada ayam, aku selalu memotongnya menjadi tiga bagian sebelum ku makan, entah kenapa tapi ku rasa sangat menganggu melihat lauk sebesar itu, bukan merasa terkalahkan soal kemontokan (eh?) hanya soal kebiasaan saja yang membuatku menjadi bisa-bisa saja memotong dada ayam itu setiap akan makan. Meski ku tahu, aku melakukannya tanpa kau sadari, dan tetap melakukannya selalu tanpa merasa harus bersedih karena bukan kau yang melakukannya untukku sesekali.

Orang akan berkata ini adalah hubungan yang sangat kesepian, sebab mereka tidak pernah bisa mendengar bagaimana di telingaku napasmu terdengar riuh saat kau ada di dekatku. Mereka akan bilang ini jalinan yang kasihan, karena mereka tidak pernah tahu apa yang kau sampaikan dari tatapan mata diam-diam saat kita sedang bersama. Ada banyak keintiman yang hanya kita merasakannya tanpa memerlukan pemakluman berkesesuaian dengan standar-standar romantika yang ditentukan orang lain pada umumnya.


Bagiku, setelah denganmu, lebih penting untuk membuat dirimu yakin bahwa kau telah menjadi sesuatu yang paling ku sukai untuk menemaniku bernapas di bumi, lalu ke tempat selanjutnya kemudian.

Cintaimu Menurutku(?)

Siang,
Matahari sedang pulas di balik awan, mungkin memang hanya sedang mengalah agar tidak memberikan keluh akibat teriknya siang yang biasa mengucurkan keringat.

Aku? juga sedang pulas di alam pikiranku, ikut mengalah dari keinginan mempersengketakan apapun yang mau kau debat tentang caraku mencintaimu. Aku mencoba untuk tetap diam dan bersikap manis, sambil menunggu makan siang kemudian bergerak untuk melangsungkannya. Tapi perasaanku kemudian bangun, untuk mengatakan banyak hal yang selama ini ditawan pikiranku..

Perihal kamu....
Begini,
Aku mencintaimu dengan kata yang tidak bisa terjelaskan oleh lidahku, tapi bathinku banyak mengadu pada Tuhan tentang bagaimana kondisiku terhadapmu. Meski akhirnya selalu kau tanyakan juga, sikapku memang kadang tak tahu harus dimodelkan serupa apa untuk bisa berhasil membuatmu tetap denganku. Ku takutkan ini hampir-hampir terlihat obsesi, padahal sejadi-jadinya ini adalah kesungguhanku yang mau denganmu.

Masa lalumu? Menurutku?
Oh jangan kau kira, aku tetap saja manusia biasa yang kadang punya rasa cemburu yang tidak beraturan, terhadap apapun yang pernah terjadi dalam hidupmu tanpa melibatkanku kau kira itu baik-baik saja bagiku?

andai,,, andai bisa ku tukar semua waktuku untuk membawamu pulang ke masa lalumu demi menggantikan siapa pun yang pernah ada di sana denganmu, aku mau!
seandainya bisa ku hapus semua ingatan yang ada di kepalamu perihal fase hidup mana pun yang tidak menyertakan aku di dalamnya, aku mau membelinya dengan harga nyawaku, aku mau!

Rasa cemburu yang membuatku tenggelam, dan tidak melihat masa depan kita dengan jelas, ku kira itu buruk, dan mesti ku tangani sendiri. Sederhana, caranya adalah dengan tidak membuatmu tahu betapa aku menyimpan perasaan cemburu yang teramat sangat, setidaknya pikiranku mengingatkan tentang apa yang masuk di kepala untuk bisa ditolerir tentang perasaan cemburu dan apa yang hanya sekedar ironi. Harus ku pahami dengan otakku, bahwa waktu adalah sesuatu yang dipunyai oleh Pemiliknya, disertai dengan penguasaan yang matang tentang akan menempatkan dan memberlakukan apa di sana. Termasuk di waktumu masa lalu, aku tidak di sana untuk menjadi siapa-siapa, aku tidak memiliki hak apapun di sana untuk menentukan kau harus bagaimana.

Lalu cinta selalu mengajak saya untuk yakin, bahwa saat ini adalah waktu terbaik untuk ditempatkan dalam kehidupanmu, sambil banyak menaruh harapan semoga itu adalah untuk waktu yang panjang, hingga Tuhan berkata "Ayo Pulang! sudah waktunya"

Tidak ada cara bagiku untuk menerima diriku sendiri yang mau mengajakmu hidup, selain aku membuat diriku sendiri menerima apa yang pernah ada di kepalamu, di perasaanmu beserta beragam nama yang pernah mampir di sana, sembari tetap percaya, apapun yang pernah kita lalui sebelum bersama adalah tidak lain jalan untuk saling menemukan.

Aku mencintaimu, dengan menerimamu.

Senin, 12 Desember 2016

Mencoba Muncul Kembali

Salam damai bagimu, bagiku, kita sekalian....

Tentang masa kecil, apa yang kau ingat mengenai itu?
Aku? Ku rasa diriku sudah dewasa sejak tubuhku masih kecil. ku rasa aku adalah jiwa yang dewasa dan terkurung pada tubuh manusia untuk mengikuti semua hukum alam agar tumbuh seiring masa, tapi aku yang sesungguhnya tetap sama, tetap diriku yang begitu dan jiwa masih itu-itu melulu.

Hal yang selalu ku rasakan di usiaku yang muda sebagai anak kecil yang masih mengisap ingus sekehendakku tanpa mau peduli kau akan tertarik atau merasa jijik, adalah saat itu lebih sering ku merasa akrab dengan kematian. Mati seperti menjadi bayang-bayang yang mengikuti kemana pun ku pergi, termasuk ketika waktu sudah mengajak ku untuk menginjak usia yang selalu diserang tanya "kapan menikah?", yah maksudku dewasa. Mati masih selalu bisa menjadi teman yang paling tetap untuk tinggal denganku. Saat bangun, tidur, setengah sadar, hingga tertidur dalam bangun atau bangun dalam tidur, pikiran tentang mati masih selalu begitu, selalu sama untuk tinggal di dalam kepalaku.

Susah menjelaskan bagaimana itu padi kalau kau tinggal di ladang ternak dan tak pernah melihat padi sekali pun, sama susahnya untuk membuat kau paham tentang apa yang saya jelaskan kalau kau tidak pernah berkesempatan merasakan.

Ini bukan lagi tentang "aku berpikir maka aku ada", sebab semakin ku pikirkan tentang 'aku' semakin ku rasa aku adalah tiada. Perasaan tentang mati sesungguhnya memang tidak selalu buruk, adakalanya itu menyelematkan ku dari sebuah ambisi yang pada akhirnya ku ketahui memang tidak perlu. Tapi seiring usiaku sekarang ini, ku rasa mati itu adalah kawan yang sedang berusaha menawanku dari angan apapun, termasuk tentang,,,,,,,,, yah, tentang menikah.

Sama sepertimu, aku juga, tidak terbayang untuk akan jatuh cinta, tidak merencanakan, lalu ketika itu datang dan menuntunku untuk berani berangan tentang masa depan. Ku kira tubuhku saja yang ikut tumbuh, tidak, pikiran masa kecilku tentang mati juga ikut semakin besar. Sering menjadi sebuah tanya yang meredupkan nyali, memikirkan tentang masa depan menjadi ketakutan karena ku tahu bisa saja napasku di sirna di detik manapun.

Beginilah aku yang waktu kecil itu akhirnya tumbuh,
bahwa aku seperti jarum jam, yang setiap gerakannya hanya selalu berkisah tentang kehilangan, hilang.

Selasa, 04 Oktober 2016

Panggil aku Senin

Bila setiap hari adalah Ahad, mungkin kita tidak akan merasakan sempatnya rindu di Senin yang sibuk, dan itu lebih syahdu rasanya, mencuri rindu di sela waktu.

Tidak ada alasan yang benar untuk kita klaim demi menyatakan bahwa kita sangat patah, tidak ada!

Bukankah kita saling mencintai dengan hati yang dulunya juga kita pakai untuk mencintai orang lain sebelumnya. Kita juga saling menyentuh di kulit yang sudah merekam jejak-jejak kekasih kita di masa lalu, kan?

Tentang luka ini, harus ku akui telah sempat membuatku berantakan, tidak percaya diri untuk bisa bernapas bahkan sebaik orang-orang ketika mereka terengah-engah, paru-paruku tidak lagi menampung apa-apa untuk sekedar bisa bertukar udara.

Tapi setelah ini, ku pahami, dulu sebelum mengenalmu aku telah hidup, jadi kau tidak sebaiknya menjadi alasan untuk aku mati. Perpisahan ini serupa angin yang menumbangkanku, dan aku yang baru telah siap tumbuh kembali.

Aku akan datang lagi pekan depan, untuk mecintaimu! memilikimu tidak! kau terlalu senang membagi diri, aku tak cocok dengan itu.

Rinduku utuh padamu, terserah bagaimana kau, aku tidak sedang mau terlalu memaksakan diri untuk menunggu kau setia dengan cara yang sama, pernah denganmu sudah cukup. Aku tahu, dan memang sudah semesti ku ajak diriku menerima bagaimana dunia ini berkerja perihal "ada sesuatu yang sangat memikat hatimu tapi tak layak kau ingini". Bagiku kau begitu, kau lebih pantas bersama mereka-mereka.

Aku terlahir untuk membuatmu merasa percaya diri telah pernah denganku, dan ku pastikan, itu tidak akan lagi, tidak!

Pada Senin aku datang lagi, meniupkan rinduku, jika kau endus aroma puisi itu aku, tapi jangan susah-susah untuk mau tergugah, aku juga tidak selera mengambilmu darinya. Jadi, dengannya saja yah! menahanmu tidak membuat cinta kita utuh kembali.

#ArungWidara

Anu-Mali

Yang saya bingungkan dari lelaki adalah mengapa mereka pandai sekali untuk pura-pura paling kecewa, padahal dalam banyak momen merekalah yang sering memberi isyarat "hei wanita, lihatlah ini salahmu!"

Tapi disaat yang sama mereka bertingkah bak pahlwan "salahkan saja aku!" ini kan anomali! sementara perempuan cenderung lebih suka yang lugas, karena apa? karena kami lebih suka mendengar sendiri apa yang sudah kami ketahui.

Kemudian soal khianat, ayolah Bung jangan bicara soal kesetiaan kalau yang kalian lakukan saat berkumpul dengan kawan-kawan adalah membandingkan satu perempuan dengan perempuan lain mana yang lebih menarik.

Kalian, para lelaki, suka sekali berkilah tentang keidealan, tapi tak pernah mau sepakat dengan aturan main soal apa sih ideal itu.

#ArungWidara

Saya Mau dicintai Seperti Dirimu dicintai Saya!

Cintaku terhadapmu berat di kepala, dan seluruhku bagimu!

Bilang kalau saya pernah melukai kamu, menempatkanmu pada posisi yang tidak dihargai, atau bila saya pernah menutup telinga saat kau mulai bicara walau terkadang yang keluar dari mulutmu itu mencincang perasaanku. atau pernahkah saya memecah perhatian saat kau sedang mau-maunya menjadi fokus?

Langit ada tujuh, kau ke delapan bagiku, ku muliakan sekali. Sampai saya lupa tentang satu, perihal kau akhirnya menjadi sudah semakin tinggi hingga tak bisa lagi ku gapai.

Kita setidaknya dituntut bahagia oleh mereka yang bersedia patah demi tidak memiliki kita, setidaknya pengorbanan mereka berhak tidak sia-sia!

Dan saya tidak pernah mengerti apa itu merdeka, kalau untuk bersamamu saja mesti berjuang melawan semua masa lalumu yang menyerang saya secara bergerilya!

Apapun, sebelum jalan mendapati kaki saya tiba di hadapan hatimu, sudah ku pastikan tidak tersisa satu pun dari kepingan masa lalu yang akan bisa mengusik perasaanku bahkan saat marah sudah diubun-ubun dan emosi sudah sampai di ujung lidah.

Aku memperlakukan masa laluku sebagai hal baik yang akan menjadi semakin baik jika tetap saja begitu, tetap menjadi kenangan, tidak membebanimu yang ku pilih sebagai masa depan. Tidak menyandung perasaanmu, sehingga saya dan kau melangkah dengan enteng!

Kalau aku bisa menaruh pengalamanku sebatas di hari kemarin, lantas kenapa kamu masih tidak segan mengajak aku takut? seolah kau sengaja menempatkan semua orang-orang itu untuk mengancamku.

Cinta ini kepada diri kau besarnya telah teramat, dan saya berterima kasih kepada siapa pun yang telah merawatmu di masa lalu untuk bisa sampai padaku, tapi bila kau masih mau mengulang pada siapapun di antaranya, saya sendiri akan mengantarmu ke sana. iring-iringan dariku adalah doa, semoga setelah itu saya menjadi masa lalu yang lebih baik dari yang pernah kau punya, yaitu tidak kembali.

#ArungWidara
Makassar di Bulan yang Mendung

Senin, 14 Maret 2016

Pada Cinta yang Pernah Jatuh, Dulu!

Untuk banyak alasan yang tidak mau diakui, kita pernah jatuh cinta, dulu. Disaat kesendirian begitu berisik mengusik kedamaian hidup, dan kamu sedang merampungkan lukamu ditinggal wanitamu yang sebelumku, aku pun begitu banyak-banyak masa lalu membawaku padamu, pada sebuah pertemuan yang wajar dan tanpa rencana akan jatuh cinta, sampai akhirnya kita menemukan dua tiga hingga lebih alasan untuk terjerat dalam suatu hubungan yang rumit menamakannya apa, kenyamanan membuat kita merasa saling memiliki kendati tidak.
Pilihan kita saat itu adalah menjalani, apa adanya, sambil membalut luka dulu masing-masing, kau adalah sebentuk mahluk yang menerima segalaku tanpa interupsi, segala keras kepalaku yang tidak kau lunakkan, aku menjadi diriku sendiri, itu adalah penghargaan cinta yang tertinggi ku kira, setidaknya tidak menjadi boneka. Aku pun begitu padamu, ku biarkan kau bebas mengepakkan sayapmu kemanapun angin bertiup menghempas. Kita adalah penerimaan yang paling ikhlas, dulu.
Sampai akhirnya, kita mulai saling mendikte, dan merasa itu tidak beres. Aku mulai kebanyakan diam dan kau juga, itu adalah reprentase ketidak acuhan, tak acuh adalah sinyal lunturnya perasaan, dan hebatnya kita berdua melakukan pembiaran ,merasa begitu tangguh untuk dapat saling menyakiti. Kau berubah menjadi seseorang yang pandai membual, menjanjikan sesuatu yang tidak bisa kau penuhi, aku memercayai dan kepercayaanku kembali dengan rasa yang dikhinati, pahit dan banyak sekali. Aku memilih pergi, dan kau santai saja, sesal pun tak ada di air mukamu. Aku patah sekali!
Dulu, segala kenyamanan menjadikan cinta takluk pada jatuh, kita jatuh cinta. Hingga akhirnya keapatisan membuat kita terjatuh, luka. Tidak sedikit waktu, aku merampungkan patahan hatiku yang terjatuh berantakan, bergantian orang-orang baru datang menyisihkan tawa-tawa yang berangsur menutupi lukaku karenamu, hingga aku benar-benar telah sembuh, bahkan lupa bahwa pernah ada semacam kamu dalam hidupku dulu.
Di satu hari setelah kesembuhanku kau membagal hatiku lagi, datang masih dengan kenyamanan yang seperti dulu, sekali lagi kenyamanan darimu seperti candu, aku sakau sekali lagi. Dalam buaian kenyamanan itu kau mampu meyakinkanku bahwa yang dulu tidak akan terulang, ku peringatkan kau berkali-kali untuk tidak menjadi residivis, kau mengangguk meyakinkan. Indahnya, hatiku jatuh pada mencintaimu sekali lagi.
Akhirnya, tak ada angin tak ada hujan, badai datang, menyeretku dalam pusaran sakit yang deja vu, kau membanting hatiku lagi, kini dengan sangat keras dan dalam, aku terjatuh dalam luka yang parah. Kali ini kau simpan kebohongan yang lebih parah, ada dia, seseorang yang ternyata kau jamu dengan cintamu juga. Seketika aku ingin menjadi amukan Hera yang menelan selingkuhan Zeus dalam kutukan, tapi amarah akan kembali dengan rasa malu, aku lebih memilih berdamai dengan hatiku.
Kau, adalah dulu yang datang lagi untuk menyempurnakan luka yang pernah, mungkin ini menyenangkan bagimu, tak apa. Menyenangkan juga bagiku, telah mengajarimu kebesaran hati, aku yakin ada alasan mengapa kau begitu. Apapun, terima kasih, luka darimu selalu menjadi kudapan di hari-hariku yang lapar.