Selasa, 13 Desember 2016

Biarkan Cinta Beracara

Cinta adalah membuat dirimu dicintai tapi harus menuntutnya untuk mencintai dirimu menurut caramu, kan?
Bukankah cinta sejati itu memang bekerja menurut caranya sendiri. Ku kira begitu, sehingga untuk membiarkanmu tetap tidak mengetahui apa yang memang ingin tidak ingin kamu ketahui padahal yang sesungguhnya ku ingini kamu mengetahui itu, ku biarkan terjadi, karena percaya cinta bukan selalu tentang menalukkan dia untuk tunduk pada cara kita.

Apa kamu tahu aku suka anggrek bulan?
Aku sering melihatnya saat kita berdua dalam perjalanan pulang, seorang bapak-bapak penjual bunga di sisi jalan menggawangi pot-pot bunga seperti seorang bapak sedang menjaga anak gadisnya, dan ya lebih sering tersenyum sendiri di belakang setiap kita berdua melewati barisan bunga itu. Walau aku tahu, diriku hanya sedang tersenyum sendiri, sebab kau tidak turut tahu tentang kesukaanku itu.

Apa kamu tahu aku suka lemon tea?
Aku sering membelinya di restaurant dekat kantorku saat ku rasa hari sedang berat, dan bahuku tak mampu memikulnya, saat ku rasa hari terlalu melebar dan kepalaku tak mampu menampungnya. Setiap sentuhan lemon tea di bibirku ikut tertelan namamu, ya meski ku tahu kau tidak pernah sadar hal ini terjadi di setiap hari-hari berat.

Apa kau tahu bagaimana aku memakan dada ayam?
Tak jarang kita makan dengan menu yang sama, kalau aku pesan paha ayam, biasanya kau juga, kalau ku pesan dada ayam, biasanya kau juga, memang ikut-ikutan kau itu. Tapi aku tahu bahwa kau tidak pernah memerhatikan sikap makanku, selain tentang kebiasaanku yang kesulitan menghabiskan nasi, karena hal itu memang mencolok. Tapi apa kau menyadari satu kebiasaanku yang berulang? Tentang dada ayam, aku selalu memotongnya menjadi tiga bagian sebelum ku makan, entah kenapa tapi ku rasa sangat menganggu melihat lauk sebesar itu, bukan merasa terkalahkan soal kemontokan (eh?) hanya soal kebiasaan saja yang membuatku menjadi bisa-bisa saja memotong dada ayam itu setiap akan makan. Meski ku tahu, aku melakukannya tanpa kau sadari, dan tetap melakukannya selalu tanpa merasa harus bersedih karena bukan kau yang melakukannya untukku sesekali.

Orang akan berkata ini adalah hubungan yang sangat kesepian, sebab mereka tidak pernah bisa mendengar bagaimana di telingaku napasmu terdengar riuh saat kau ada di dekatku. Mereka akan bilang ini jalinan yang kasihan, karena mereka tidak pernah tahu apa yang kau sampaikan dari tatapan mata diam-diam saat kita sedang bersama. Ada banyak keintiman yang hanya kita merasakannya tanpa memerlukan pemakluman berkesesuaian dengan standar-standar romantika yang ditentukan orang lain pada umumnya.


Bagiku, setelah denganmu, lebih penting untuk membuat dirimu yakin bahwa kau telah menjadi sesuatu yang paling ku sukai untuk menemaniku bernapas di bumi, lalu ke tempat selanjutnya kemudian.

Cintaimu Menurutku(?)

Siang,
Matahari sedang pulas di balik awan, mungkin memang hanya sedang mengalah agar tidak memberikan keluh akibat teriknya siang yang biasa mengucurkan keringat.

Aku? juga sedang pulas di alam pikiranku, ikut mengalah dari keinginan mempersengketakan apapun yang mau kau debat tentang caraku mencintaimu. Aku mencoba untuk tetap diam dan bersikap manis, sambil menunggu makan siang kemudian bergerak untuk melangsungkannya. Tapi perasaanku kemudian bangun, untuk mengatakan banyak hal yang selama ini ditawan pikiranku..

Perihal kamu....
Begini,
Aku mencintaimu dengan kata yang tidak bisa terjelaskan oleh lidahku, tapi bathinku banyak mengadu pada Tuhan tentang bagaimana kondisiku terhadapmu. Meski akhirnya selalu kau tanyakan juga, sikapku memang kadang tak tahu harus dimodelkan serupa apa untuk bisa berhasil membuatmu tetap denganku. Ku takutkan ini hampir-hampir terlihat obsesi, padahal sejadi-jadinya ini adalah kesungguhanku yang mau denganmu.

Masa lalumu? Menurutku?
Oh jangan kau kira, aku tetap saja manusia biasa yang kadang punya rasa cemburu yang tidak beraturan, terhadap apapun yang pernah terjadi dalam hidupmu tanpa melibatkanku kau kira itu baik-baik saja bagiku?

andai,,, andai bisa ku tukar semua waktuku untuk membawamu pulang ke masa lalumu demi menggantikan siapa pun yang pernah ada di sana denganmu, aku mau!
seandainya bisa ku hapus semua ingatan yang ada di kepalamu perihal fase hidup mana pun yang tidak menyertakan aku di dalamnya, aku mau membelinya dengan harga nyawaku, aku mau!

Rasa cemburu yang membuatku tenggelam, dan tidak melihat masa depan kita dengan jelas, ku kira itu buruk, dan mesti ku tangani sendiri. Sederhana, caranya adalah dengan tidak membuatmu tahu betapa aku menyimpan perasaan cemburu yang teramat sangat, setidaknya pikiranku mengingatkan tentang apa yang masuk di kepala untuk bisa ditolerir tentang perasaan cemburu dan apa yang hanya sekedar ironi. Harus ku pahami dengan otakku, bahwa waktu adalah sesuatu yang dipunyai oleh Pemiliknya, disertai dengan penguasaan yang matang tentang akan menempatkan dan memberlakukan apa di sana. Termasuk di waktumu masa lalu, aku tidak di sana untuk menjadi siapa-siapa, aku tidak memiliki hak apapun di sana untuk menentukan kau harus bagaimana.

Lalu cinta selalu mengajak saya untuk yakin, bahwa saat ini adalah waktu terbaik untuk ditempatkan dalam kehidupanmu, sambil banyak menaruh harapan semoga itu adalah untuk waktu yang panjang, hingga Tuhan berkata "Ayo Pulang! sudah waktunya"

Tidak ada cara bagiku untuk menerima diriku sendiri yang mau mengajakmu hidup, selain aku membuat diriku sendiri menerima apa yang pernah ada di kepalamu, di perasaanmu beserta beragam nama yang pernah mampir di sana, sembari tetap percaya, apapun yang pernah kita lalui sebelum bersama adalah tidak lain jalan untuk saling menemukan.

Aku mencintaimu, dengan menerimamu.

Senin, 12 Desember 2016

Mencoba Muncul Kembali

Salam damai bagimu, bagiku, kita sekalian....

Tentang masa kecil, apa yang kau ingat mengenai itu?
Aku? Ku rasa diriku sudah dewasa sejak tubuhku masih kecil. ku rasa aku adalah jiwa yang dewasa dan terkurung pada tubuh manusia untuk mengikuti semua hukum alam agar tumbuh seiring masa, tapi aku yang sesungguhnya tetap sama, tetap diriku yang begitu dan jiwa masih itu-itu melulu.

Hal yang selalu ku rasakan di usiaku yang muda sebagai anak kecil yang masih mengisap ingus sekehendakku tanpa mau peduli kau akan tertarik atau merasa jijik, adalah saat itu lebih sering ku merasa akrab dengan kematian. Mati seperti menjadi bayang-bayang yang mengikuti kemana pun ku pergi, termasuk ketika waktu sudah mengajak ku untuk menginjak usia yang selalu diserang tanya "kapan menikah?", yah maksudku dewasa. Mati masih selalu bisa menjadi teman yang paling tetap untuk tinggal denganku. Saat bangun, tidur, setengah sadar, hingga tertidur dalam bangun atau bangun dalam tidur, pikiran tentang mati masih selalu begitu, selalu sama untuk tinggal di dalam kepalaku.

Susah menjelaskan bagaimana itu padi kalau kau tinggal di ladang ternak dan tak pernah melihat padi sekali pun, sama susahnya untuk membuat kau paham tentang apa yang saya jelaskan kalau kau tidak pernah berkesempatan merasakan.

Ini bukan lagi tentang "aku berpikir maka aku ada", sebab semakin ku pikirkan tentang 'aku' semakin ku rasa aku adalah tiada. Perasaan tentang mati sesungguhnya memang tidak selalu buruk, adakalanya itu menyelematkan ku dari sebuah ambisi yang pada akhirnya ku ketahui memang tidak perlu. Tapi seiring usiaku sekarang ini, ku rasa mati itu adalah kawan yang sedang berusaha menawanku dari angan apapun, termasuk tentang,,,,,,,,, yah, tentang menikah.

Sama sepertimu, aku juga, tidak terbayang untuk akan jatuh cinta, tidak merencanakan, lalu ketika itu datang dan menuntunku untuk berani berangan tentang masa depan. Ku kira tubuhku saja yang ikut tumbuh, tidak, pikiran masa kecilku tentang mati juga ikut semakin besar. Sering menjadi sebuah tanya yang meredupkan nyali, memikirkan tentang masa depan menjadi ketakutan karena ku tahu bisa saja napasku di sirna di detik manapun.

Beginilah aku yang waktu kecil itu akhirnya tumbuh,
bahwa aku seperti jarum jam, yang setiap gerakannya hanya selalu berkisah tentang kehilangan, hilang.

Selasa, 04 Oktober 2016

Panggil aku Senin

Bila setiap hari adalah Ahad, mungkin kita tidak akan merasakan sempatnya rindu di Senin yang sibuk, dan itu lebih syahdu rasanya, mencuri rindu di sela waktu.

Tidak ada alasan yang benar untuk kita klaim demi menyatakan bahwa kita sangat patah, tidak ada!

Bukankah kita saling mencintai dengan hati yang dulunya juga kita pakai untuk mencintai orang lain sebelumnya. Kita juga saling menyentuh di kulit yang sudah merekam jejak-jejak kekasih kita di masa lalu, kan?

Tentang luka ini, harus ku akui telah sempat membuatku berantakan, tidak percaya diri untuk bisa bernapas bahkan sebaik orang-orang ketika mereka terengah-engah, paru-paruku tidak lagi menampung apa-apa untuk sekedar bisa bertukar udara.

Tapi setelah ini, ku pahami, dulu sebelum mengenalmu aku telah hidup, jadi kau tidak sebaiknya menjadi alasan untuk aku mati. Perpisahan ini serupa angin yang menumbangkanku, dan aku yang baru telah siap tumbuh kembali.

Aku akan datang lagi pekan depan, untuk mecintaimu! memilikimu tidak! kau terlalu senang membagi diri, aku tak cocok dengan itu.

Rinduku utuh padamu, terserah bagaimana kau, aku tidak sedang mau terlalu memaksakan diri untuk menunggu kau setia dengan cara yang sama, pernah denganmu sudah cukup. Aku tahu, dan memang sudah semesti ku ajak diriku menerima bagaimana dunia ini berkerja perihal "ada sesuatu yang sangat memikat hatimu tapi tak layak kau ingini". Bagiku kau begitu, kau lebih pantas bersama mereka-mereka.

Aku terlahir untuk membuatmu merasa percaya diri telah pernah denganku, dan ku pastikan, itu tidak akan lagi, tidak!

Pada Senin aku datang lagi, meniupkan rinduku, jika kau endus aroma puisi itu aku, tapi jangan susah-susah untuk mau tergugah, aku juga tidak selera mengambilmu darinya. Jadi, dengannya saja yah! menahanmu tidak membuat cinta kita utuh kembali.

#ArungWidara

Anu-Mali

Yang saya bingungkan dari lelaki adalah mengapa mereka pandai sekali untuk pura-pura paling kecewa, padahal dalam banyak momen merekalah yang sering memberi isyarat "hei wanita, lihatlah ini salahmu!"

Tapi disaat yang sama mereka bertingkah bak pahlwan "salahkan saja aku!" ini kan anomali! sementara perempuan cenderung lebih suka yang lugas, karena apa? karena kami lebih suka mendengar sendiri apa yang sudah kami ketahui.

Kemudian soal khianat, ayolah Bung jangan bicara soal kesetiaan kalau yang kalian lakukan saat berkumpul dengan kawan-kawan adalah membandingkan satu perempuan dengan perempuan lain mana yang lebih menarik.

Kalian, para lelaki, suka sekali berkilah tentang keidealan, tapi tak pernah mau sepakat dengan aturan main soal apa sih ideal itu.

#ArungWidara

Saya Mau dicintai Seperti Dirimu dicintai Saya!

Cintaku terhadapmu berat di kepala, dan seluruhku bagimu!

Bilang kalau saya pernah melukai kamu, menempatkanmu pada posisi yang tidak dihargai, atau bila saya pernah menutup telinga saat kau mulai bicara walau terkadang yang keluar dari mulutmu itu mencincang perasaanku. atau pernahkah saya memecah perhatian saat kau sedang mau-maunya menjadi fokus?

Langit ada tujuh, kau ke delapan bagiku, ku muliakan sekali. Sampai saya lupa tentang satu, perihal kau akhirnya menjadi sudah semakin tinggi hingga tak bisa lagi ku gapai.

Kita setidaknya dituntut bahagia oleh mereka yang bersedia patah demi tidak memiliki kita, setidaknya pengorbanan mereka berhak tidak sia-sia!

Dan saya tidak pernah mengerti apa itu merdeka, kalau untuk bersamamu saja mesti berjuang melawan semua masa lalumu yang menyerang saya secara bergerilya!

Apapun, sebelum jalan mendapati kaki saya tiba di hadapan hatimu, sudah ku pastikan tidak tersisa satu pun dari kepingan masa lalu yang akan bisa mengusik perasaanku bahkan saat marah sudah diubun-ubun dan emosi sudah sampai di ujung lidah.

Aku memperlakukan masa laluku sebagai hal baik yang akan menjadi semakin baik jika tetap saja begitu, tetap menjadi kenangan, tidak membebanimu yang ku pilih sebagai masa depan. Tidak menyandung perasaanmu, sehingga saya dan kau melangkah dengan enteng!

Kalau aku bisa menaruh pengalamanku sebatas di hari kemarin, lantas kenapa kamu masih tidak segan mengajak aku takut? seolah kau sengaja menempatkan semua orang-orang itu untuk mengancamku.

Cinta ini kepada diri kau besarnya telah teramat, dan saya berterima kasih kepada siapa pun yang telah merawatmu di masa lalu untuk bisa sampai padaku, tapi bila kau masih mau mengulang pada siapapun di antaranya, saya sendiri akan mengantarmu ke sana. iring-iringan dariku adalah doa, semoga setelah itu saya menjadi masa lalu yang lebih baik dari yang pernah kau punya, yaitu tidak kembali.

#ArungWidara
Makassar di Bulan yang Mendung

Senin, 14 Maret 2016

Pada Cinta yang Pernah Jatuh, Dulu!

Untuk banyak alasan yang tidak mau diakui, kita pernah jatuh cinta, dulu. Disaat kesendirian begitu berisik mengusik kedamaian hidup, dan kamu sedang merampungkan lukamu ditinggal wanitamu yang sebelumku, aku pun begitu banyak-banyak masa lalu membawaku padamu, pada sebuah pertemuan yang wajar dan tanpa rencana akan jatuh cinta, sampai akhirnya kita menemukan dua tiga hingga lebih alasan untuk terjerat dalam suatu hubungan yang rumit menamakannya apa, kenyamanan membuat kita merasa saling memiliki kendati tidak.
Pilihan kita saat itu adalah menjalani, apa adanya, sambil membalut luka dulu masing-masing, kau adalah sebentuk mahluk yang menerima segalaku tanpa interupsi, segala keras kepalaku yang tidak kau lunakkan, aku menjadi diriku sendiri, itu adalah penghargaan cinta yang tertinggi ku kira, setidaknya tidak menjadi boneka. Aku pun begitu padamu, ku biarkan kau bebas mengepakkan sayapmu kemanapun angin bertiup menghempas. Kita adalah penerimaan yang paling ikhlas, dulu.
Sampai akhirnya, kita mulai saling mendikte, dan merasa itu tidak beres. Aku mulai kebanyakan diam dan kau juga, itu adalah reprentase ketidak acuhan, tak acuh adalah sinyal lunturnya perasaan, dan hebatnya kita berdua melakukan pembiaran ,merasa begitu tangguh untuk dapat saling menyakiti. Kau berubah menjadi seseorang yang pandai membual, menjanjikan sesuatu yang tidak bisa kau penuhi, aku memercayai dan kepercayaanku kembali dengan rasa yang dikhinati, pahit dan banyak sekali. Aku memilih pergi, dan kau santai saja, sesal pun tak ada di air mukamu. Aku patah sekali!
Dulu, segala kenyamanan menjadikan cinta takluk pada jatuh, kita jatuh cinta. Hingga akhirnya keapatisan membuat kita terjatuh, luka. Tidak sedikit waktu, aku merampungkan patahan hatiku yang terjatuh berantakan, bergantian orang-orang baru datang menyisihkan tawa-tawa yang berangsur menutupi lukaku karenamu, hingga aku benar-benar telah sembuh, bahkan lupa bahwa pernah ada semacam kamu dalam hidupku dulu.
Di satu hari setelah kesembuhanku kau membagal hatiku lagi, datang masih dengan kenyamanan yang seperti dulu, sekali lagi kenyamanan darimu seperti candu, aku sakau sekali lagi. Dalam buaian kenyamanan itu kau mampu meyakinkanku bahwa yang dulu tidak akan terulang, ku peringatkan kau berkali-kali untuk tidak menjadi residivis, kau mengangguk meyakinkan. Indahnya, hatiku jatuh pada mencintaimu sekali lagi.
Akhirnya, tak ada angin tak ada hujan, badai datang, menyeretku dalam pusaran sakit yang deja vu, kau membanting hatiku lagi, kini dengan sangat keras dan dalam, aku terjatuh dalam luka yang parah. Kali ini kau simpan kebohongan yang lebih parah, ada dia, seseorang yang ternyata kau jamu dengan cintamu juga. Seketika aku ingin menjadi amukan Hera yang menelan selingkuhan Zeus dalam kutukan, tapi amarah akan kembali dengan rasa malu, aku lebih memilih berdamai dengan hatiku.
Kau, adalah dulu yang datang lagi untuk menyempurnakan luka yang pernah, mungkin ini menyenangkan bagimu, tak apa. Menyenangkan juga bagiku, telah mengajarimu kebesaran hati, aku yakin ada alasan mengapa kau begitu. Apapun, terima kasih, luka darimu selalu menjadi kudapan di hari-hariku yang lapar.

Ini Hati bukan Tali (Kepada yang datang dengan kasih menyembunyikan kekasih)


Dua pertiga malam sebelum matahari pagi merebak di Sabtu yang senggang, sajadah dan sepasang mukenah parkir mentereng di sandaran kursi. Malam itu ku rampungkan ibadah lail, sembari menunggu mata kembali disapu kantuk aku mengisi jeda itu dengan memelintir gadget, tidak ada yang istimewa serba semenjana, ada yang memamerkan pasangannya, keluarganya, harta benda, sahabat, jabatan, dan keilmuannya dalam berbagai model verbal yang berbasa-basi, mentah, juga matang, semua komplit di pertemanan sosial mediaku bak toko campuran yang menyediakan barang varian apa saja.
Masih sambil menunggu kantuk yang tak kunjung datang, aku sudah beralih membaca Novel yang ditulis oleh penulisnya, tiba-tiba dibuyarkan oleh pemberitahuan dari gadget, permintaan pertemanan di salah satu jejaring sosialku. Aku termasuk orang yang memilah-milih orang yang akan ku konfirmasi, biasanya indikator pertama adalah berapa jumlah teman yang sama, dan teman yang sama itu mesti dari komunitas pertemananku yang mana di dunia nyata, apatah teman SMA, teman kampus dan seterusnya, bila ternyata banyak pertemanan yang sama maka dengan mudah akan ku konfirmasi. Kebetulan akun yang mengajukan permintaan pertemanan tersebut dari salah satu komunitasku di dunia nyata, ku sebut saja sekampus, maka cukup mudah untuk menggerakkan ibu jariku mengklik “konfirmasi”. Tidak butuh seratus purnama, hanya beberapa menit, akun yang baru saja ku konfirmasi itu menyapa lewat chat, pada diriku yang amat tidak senang menyantap basa-basi tentu saja chat semacam itu ku abaikan.
Seminggu berselang, di hari Sabtu pagi yang penuh tekanan kemalasan, pukul Sembilan pagi dan aku belum mandi, tertahan oleh gravitasi kasur yang menarikku lebih kuat, sambil mengumpul kekuatan untuk bertarung melawan basah di kamar mandi aku mencandai rasa sepiku dengan menggodai layar gadget, lalu ku dapati lagi si akun yang seminggu lalu itu menyapaku lewat chat, kali ini dia datang dengan menenteng deretan nama pesohor sastra yang dijadikan santapan pembicaraan, terasa sangat serius dan membuatku secara sukarela tertarik membalas dan menyambut tentengan itu, kami akhirnya terlibat dalam pembicaraan yang mengalir, tidak genang dan keruh. Latar belakang dari kampus yang sama membuat kami tidak kesulitan untuk sambung menyambut keramahan dan menemukan bahasan lain yang akrab walau belum bersua di dunia nyata.
Setiap aliran menuju muara, di sana yang sebelumnya mengalir itu menuju untuk kemudian tertampung, demikian dengan komunikasi kami, hanya tiga hari berselang hingga dia sudah begitu berani menyatakan suka, cinta dan keinginan untuk bersama, bukannya merasa panahan bagiku justru itu semacam padahan, sungguh telah banyak hal yang disangsikan oleh perasaan yang datang dengan begitu ringan dan seketika bahkan tanpa sua rupa, aku paham tidak semua perasaan membutuhkan waktu yang lama juga tatap fisik, tapi terlalu cepat itu juga mengherankan kendati dikata cinta adalah sebentuk rasa yang tidak terjelaskan dengan akal pikiran, namun tetap saja “lucu” menurutku jika cinta datang seperti dikejar pemangsa.
Bagaimana pun neouron dan perasaanku mencoba melakukan pemakluman pada cinta yang buru-buru, tetap saja ku bilang itu gampangan, maka dengan penuh hormat ku nyatakan jawabanku padanya dengan maksud ia merenungkan perasaannya sekali lagi, hebatnya ia mendelik bahwa perasaannya adalah sebenarnya cinta dan akan ia perjuangkan sampai aku percaya. Bagiku, merasa adalah asasi, urusan yang punya perasaan, jika ia mau berjuang seperti katanya maka tugasku adalah tidak menghalang-halangi sejauh itu tidak melabrak hakku yang asasi pula.
Dua hari berselang, setelah di hari Selasa sebelumnya ia melontarkan kata cinta beserta anak pinaknya, Jum’at sore, ku buka salah satu jejaring sosialku yang lainnya lalu ku dapati seorang wanita mempost foto yang mesra bersama seorang lelaki, lelaki yang tidak asing rupanya, pada postingan tersebut terdapat keterangan berpacaran pada hari itu juga, Jum’at, ringan sekali kalimat si wanita dalam posting itu “Tidak butuh waktu lama untuk mengatakan iya untukmu, semoga hari ini adalah awal untuk waktu yang lama”. Persis di dua hari setelah kau menyatakan cinta dan perjuangan padaku, rupanya kau sudah sukses menggait hati di tempat lain, sungguh perasaanmu itu berseliweran.
Jum’at malam hari, kau kembali menyapaku lewat chat, masih seperti biasa dan aku pun dengan bijak berpura-pura, sangat bijak, seolah tidak ada kebenaran yang baru saja terkuak. Ah parodi perasaan dan kebohongan, sungguh selalu jadi tontonan yang memukau. Baru saja kau menjalin kasih dengan perempuan lain, dan di hadapanku kau seolah tidak terjadi apa-apa, padahal tidak lain sedang memerdekakan kebuasanmu.
Kau seperti nelayan yang memasang jaring dibanyak tempat untuk mengangkut ikan, dari semua yang tersangkut di jaringmu ego akan menuntunmu serakah atau mencampakkan yang tidak kau kehendaki, sangat brutal tak berperi. Aku tidak sedang mengurai rasa sakit atau kecewa yang ditimbulkan karena adanya harapan akan diperjuangkan atau lebih oleh setiap mereka yang menyatakan perasaan, tapi perasaan bukan sesuatu yang seenaknya digampangkan datang dan pergi secara impulsif, setidaknya jika perasaan yang dimaksud barulah sebatas reka-reka dugaan maka jangan keburu dinyatakan sampai telah benar-benar yakin itu adalah sebentuk perasaan yang patut diikhtiarkan secara konsisten dan konsekuen.

Tidak bisa ku bayangkan jika ternyata kita-kita ini adalah manusia yang terlahir dari luapan perasaan ayah-ayah kita masing-masing yang sifatnya hanya impulsif ke ibu-ibu kita, betapa setiap ibu akan membesarkan anaknya dengan banyak susu pedih dan bubur luka, dan berapa banyaknya diantara kita ternyata adalah saudara seayah ke-impulsif-an. Pada akhirnya, Ini hati bukan tali yang layak ditarik ulur, pun tali, jika kelamaan kau tarik ulur akan putus juga, ku bingkis satu oleh-oleh dari perkenalan kita untukmu “mulut terdorong, emas padahannya”.

Kita yang Islam (Entah)

Sebuah puisi membawa orang-orang baru pada setiap baitnya, ibarat daun pintu, puisi menggugah orang lain untuk mau mengetuk lalu bertamu.
Puisi itulah mengantarku pada perkenalan yang baik denganmu, perkenalan yang tanpa modus, mean juga median, kita murni menjalin pertemanan yang tulus, tanpa i'tikad melibatkan apapun termasuk hasrat mau-mauan.
Aku hanya tahu kau Islam, sama denganku, lalu disatu hari kau baru saja menulis sesuatu di blogmu, kau memintaku membacanya dan mengoreksi bila perlu, kau sangat meminta tolong setidaknya nadamu menyiratkan demikian, hari itu kali pertama aku membuka blogmu setelah selama ini membaca puisimu tidak pernah melalui blog.
Di blogmu itu terkuak, walau hanya sebatas dugaan permulaan, ada simbol-simbol pengklaiman terhadap Ayah Husain, ada kesan mendalam yang kau gambarkan tentang Karbala, Ashura, ku abaikan ku pikir urusan vertikal seseorang adalah pribadi bukan urusanku, aku fokus saja membaca tulisan yang kau minta kalau-kalau benar ada yang bisa diberi saran sesuai pintamu.
Baru seperdua perjalanan di tulisanmu, muncul quote di sisi kiri blogmu bertuliskan nama IMAM MUSA AL KADHIM AS, aku terdiam membathin "dua alat bukti ditambah keyakinan, ini cukup untuk ku menyatakan kamu". Setelah ku khatamkan tulisanmu yang ku rasa tidak memerlukan perbaikan (karena pada dasarnya aku tidak kompeten untuk itu), ku kabari kau, ada hal yang sangat ingin ku tanyakan.
"Hai, sudah kubaca tulisan antum, sangat bagus, mau ku tanya, antum muslim kan?",
kau jawab "JazakIllah, iya muslim kau kan sudah tahu",
ku timpali "Maaf, antum Syi*h?",
kau menjawab "Iya, kenapa kau tahu",
"bukan apa-apa, semoga pertemanan kita adalah perjalinan yang baik, tidak memperseterukan apapun, walau sejatinya ada kebingungan, entah, cukuplah Allah" pungkasku.
Kita terlanjur ada dalam kotak, bagaimana pun itu, semoga Allah menghimpun kita dalam kebaikan. Bagiku sebaik-baik keyakinan, adalah tidak dijadikannya alasan untuk saling bertindak kejam.

Selasa, 23 Februari 2016

Untuk yang Menanti Jodoh

Perjalanan cinta adalah sebuah kisah,
kisah sedikit banyak membentuk siapa kita hari ini,
tidak hanya itu, kisah kadang menjadi belenggu yang memasung langkah,
tapi juga, kisah justru membuat kita kuat berlari.

Bagaimana kualitas diri kita akan terlihat dari bagaimana kita menyikapi kisah,
dan kemungkinan masa depan kita tergantung bagaimana kita memperlakukan kisah,
seperti, akan sulit kita menjemput cinta masa depan, jika terkungkung pada bayang-bayang kisah cinta yang sudah,
yang sudah adalah terlanjur, siapapun yang akan datang sebagai masa depan berhak bebas dari perlakuan akibat ingatan dengan kisah yang pernah.

Ketika kita berdekret mengusaikan kisah dengan yang dulu,
tidakkah harusnya segala tentangnya sudah berhenti di situ?
kebanyakan kita melepas cinta disaat kita belum mengelarkan yang perlu,
hingga akhirnya cinta masa depan selalu menanggung rasa cemburu.

Saat hati teguh menanti jodoh, ku kira
hal yang pertama mesti diinsyafi adalah kelegaan,
melegakan diri dari apa yang sudah, menghargai yang pernah hanya sebatas pembelajaran,
melegakan diri dari ketidakpantasan yang sudah, menggantinya dengan keapikan.

Siapa pun yang akan datang,
ia berhak merasa betah!

#Widara
24 Januari 2016

Senin, 22 Februari 2016

MATI

Aku bergidik tiap mengingat mati.
ku kira itu satu-satunya, namun semua berubah sejak rindu menyerang,
mati, ku kira sudah cukup menjadi momok yang mengusik ketenangan,
lalu rindu datang menyempurnakan segala kegusaran.

Setiap Pagi, selalu cukup menakutkan karena ingatan mati tak pernah lindap,
dan pagi, semakin sempurna seramnya karena diimbuh ingatan tentangmu,
dan mati semakin mengerikan semenjak mengenalmu,
aku takut, mati menyudahkan penantianku akan dirmu,
takut kalau-kalau mati menjadi penggenap dosaku,

Kau dan mati, persamaannya adalah kengerian yang tidak lepas dariku,
tidak mungkin.
Kenapa rindu selalu menjadi hal yang tidak mudah diselesaikan?
seperti keinginan bertemu dengan Tuhan untuk menuntaskan rindu,
tapi sekaligus ketidakinginan untuk melalui proses yang disebut mati.

#Widara
23 Februari 2016

Kamis, 18 Februari 2016

SURAT PERKENALAN (PEREMPUAN MENGERTI)

Assalamualaikum Abdillah,
Namaku Satia, Ara Satia aku 19 tahun, terancam 20 tahun sebentar lagi, hanya hitungan detik dikalikan delapan hari, aku suka bulan, saat aku menulis surat ini, ini tepat pukul 19.02 Waktu Jam Dinding Tua ayahku, jam yang konon dibeli sehabis panen jagung ayahku sekitar 6 bulan 22 hari sebelum aku bersarang di perut brojol ibuku, hebat, ayahku bahkan tahu dalam laga mana ia berhasil mencetakku hingga bertengger di gawang ibu, soal jam, memang dibiarkan tak diganti, "biar jamnya usang karna waktu juga akan usang", begitu kata ayahku, tapi menurutku jika sudah rusak mau tak mau akan diganti, karna kita mesti tahu berputarnya waktu yang usang ini, kau sependapat denganku Abdillah? Kalau tidak, tidak apa-apa, aku memang telah mendengar bahwa kau cukup egois.
Jangan kaget dengan suratku ini Abdillah, percayalah aku bukan wanita cantik dari barat, juga bukan anak konglomerat, bukan putri seorang aristokrat (apa itu aristokrat Abdillah? Aku hanya menggunakannya karna Zainab sering menyebutmu begitu, dan biar suratku sedikit mencuri perhatianmu aku terpaksa menggunakan istilah yang tak ku tahu, tidak apa-apalah, nanti juga akan ku tahu), seperti yang ku katakan di atas ayahku pernah memanen jagung, berarti ayahku bertani jagung, kau pasti akan langsung pahamkan? bahwa aku anak petani jagung setelah di paragraf sebelumnya aku sedikit menyinggung soal jam dinding, jadi aku tidak perlu mengatakan bahwa aku anak petani jagung (apa kalimat ini menunjukkan bahwa aku sudah mengatakannya? Ah entahlah) yang ingin ku katakan aku bukanlah seseorang yang luar biasa, aku hanya anak petani jagung (aku mengatakannya lagi, tidak apa-apa, takutnya kau tidak mengerti) ayahku memiliki 6 ha luas lahan yang ditanami jagung, bisa tiga kali panen setahun, hebat bukan? Kau percaya? Aku juga tidak percaya jika jadi kau, maka datanglah ke kampungku biar kau lihat sendiri, bila tak benar begitu, mungkin aku memang sedang bergurau, tapi tidak, aku serius Abdillah, bisalah para insinyur pertanian itu berguru pada ayahku, jika kau datang ku ajak kau menikmati jagung ayahku. Ayahku hebat Abdillah dia akan berpuisi jika satu batang jagungnya saja diserang hama, maka bayangkan berapa puisi ayahku hingga hari ini. Ah kenapa aku mesti menceritakan ayahku? Bukan itu maksud surat ini.
Saat aku tiba di paragraf ini, sekarang pukul 19.12 masih berdasarkan waktu jam dinding usang ayahku. Kenapa aku selalu melihat jam? Zainab berkata padaku "waktu juga menghitungmu, maka hitunglah balik, biar kau tak kalah", karna itu aku sering melihat jam, setidaknya sejak 6 bulan belakangan ini, semenjak aku mengenal Zainab.
Malam ini angin meliuk-liuk, bulan menggantung indah 1/6 dari lingkaran purnama Abdillah, begitulah juga surat ini akan bercerita, tentang 1/6, tentang aristokrat, tentang kemasyhuran, tentang keluguan, tentang nisan tanpa nama. Surat ini akan terbagi dalam beberapa rangkaian, akan ku ceritakan tentang wanita yang kau gasak hatinya dengan janji cinta dan kedatangan yang tak kunjung kau penuhi, Zainab, wanita dengan wajah yang kusai masai lantaran menantimu setiap pagi hingga malam lelap di bawah pohon mangga rimbun di depan rumahnya, seperti janjimu, akan bertemu lagi dengannya di situ, tapi kau memberinya janji semu, setidaknya aku layak mengatakan begitu.
Sesuai kataku surat ini akan berangkai, maka sebagai awal ku rasa cukup dulu sampai di sini, kau sudah tahu sedikit siapa aku dan apa maksud suratku, pada surat selanjutnya aku akan mulai bercerita sesuai apa yang ku katakan di atas tentang 1/6 dan bla bla bla tentang Zainab!!
Tinta pulpenku nyaris habis, aku masih membutuhkannya untuk menulis puisi selepas shalat subuh sebentar, aku tak bisa membeli pulpen lain lagi, tak ada toko yang buka malam begini, ini pelosok Abdillah kau tahu itu.
Ku titip surat ini pada Amanah, katanya ia pernah melihatmu di Kota Bedebah, entah bagaimana surat ini akan sampai padamu, kalau surat ini sampai ke tanganmu, maka aku takkan kapok menitip surat pada Amanah, 3 bulan sekali ia ke Kota Bedebah, istri dan anaknya ada di sana, ah sudahlah tintaku bisa habis sebelum sempat menggurat puisi. Nantikan rangkaian suratku Abdillah.

Hormatku
Satia (Sahabat, Saudari, Tempat Curhat, Kawan Sehati, Pemerhati Zainab)
Desa Nangka

22 Februari 1998

NISAN TANPA NAMA (PEREMPUAN MENGERTI)


Sepi, bahkan tak ada desau suara angin, segala yang disekitarku diam mematung, matahari bisu, entah ia enggan mengangkat bicara atau ia pun tengah segan pada apa yang dilihatnya, aku tak menanyakan itu pada matahari, tepatnya tak tahu bagaimana caranya. Yang ada aku tenggelam dalam kesenyapan itu, mulutku bungkam, air mata yang berbicara, membicarakan apa? Kesedihan ku kira, pada apa? Pada bagaimana cara kehidupan membuat kita belajar tentang sesuatu yang belum siap kita enyam, seperti yang kadang ku lakukan jika penjelasan guru matematika tidak ku mengerti, pilihanku selalu jatuh pada menangisi diri, bersedih atas kebodohan atau mungkin atas pelajaran yang memang sulit.

Cinta, menurut mu itu sebuah pelajaran atau ujian kehidupan? Kau akan menentukan sendiri kemudian, atau bahkan sudah, yang pasti saat ini cinta membawa sahabatku ke liang lahat dengan mendekap penantian yang sudah, ia menyelesaikan penantiannya dengan terhormat, Zainab Ju’da namanya, ia kini terbaring dibawah gundukan tanah yang tengah ku pandangi di sore yang sepi. Gundukan tanah, tertancap batu di atasnya, lazim disebut nisan, hanya itu, sekedar batu, tanpa nama, sehingga yang tak ikut melayatnya atau tak pernah mau tahu niscaya tak kan tahu gerangan yang bersemayam di bawah pusarah yang masih basah ini.

Sesuai wasiatnya, Zainab ingin kuburannya tidak ditancapkan nisan yang bertuliskan namanya, berulang kali ia mengulang itu selama sakitnya “Tia, kau bilang pada Bapakku, jika aku mati, tolong pada nisanku jangan dituliskan nama, jangan tuliskan apa-apa, aku sudah bilang pada bapakku banyak kali, tapi jangan sampai ia lupa maka kau bilanglah lagi padanya jika aku mati” nadanya memelas sesekali tersenggal oleh napasnya yang tak sampai, berulang kali ia merajuk begitu padaku, padahal aku tak pernah berkata keberatan untuk melakukannya tapi tetap saja ia mengulanginya, entah karena baginya aku juga sama pelupanya dengan bapaknya atau entah karena ia bersungguh-sungguh dengan keinginannya itu, dan ku kira itu karena ia tak ada hal lain yang tersisa untuk disampaikan selain itu disaat sakitnya beranjak parah dan semakin membuatnya tersiksa.

Hari ini, Jumat 20 Februari 1998, Zainab menutup usianya, selepas sholat Subuh tadi, aku di sampingnya, detik-detik sebelum ruhnya kembali pada Yang Memiliki, pandanganku tak pernah lepas darinya, kami bahkan sempat bertemu pandang lalu saling melempar senyum untuk terakhir kali. Subuh tadi , aku dengan kedua orangtuaku Sholat di Masjid, seperti biasa Bapak Zainab menjadi imam, setelah usai sholat ia berbicara dengan bapakku entah apa, belakangan setelah mereka berbincang baru aku tahu bahwa bapak Zainab meminta ijin pada ayahku untuk mengajakku singgah barang sebentar melihat Zainab di rumahnya, Ayahku tidak masalah, bahkan ayah dan ibuku menemani  ke rumah Zainab sesaat setelah bapaknya memintaku.


Aku akhirnya tahu sore ini, alasan bapak Zainab memintaku datang menemui Zainab Subuh tadi, karena itu adalah terakhir kalinya dan atas permintaan Zainab sendiri. Bahkan hingga detik ini aku kagum padanya, ia tahu kapan ia akan usai, ia tahu penantiannya akan segera berhenti dengan sendirinya, ia, Zainab selalu membuatku terpukau bahkan dengan cara tergugu pilu, sebelum ia pulang pada Pemiliknya, sempat ia membisikkan kata yang terngiang hingga kini, hingga nanti juga ku kira bahkan hingga aku sudah menjadi seorang pelupa, bisiknya “Tia, hidup adalah tentang menunggu”, mendengar itu aku sontak memandangnya mencari makna atau juga berharap ia mau menguraikannya, menurutku pernyataannya masih saru, tapi tidak ia tidak menjawab, hanya memandang balik, kami bertemu pandang lalu ia berbalik ke arah bapaknya, menggamit jari bapaknya yang berada di sisi sebelah lainnya, interaksi bathin orangtua dan anak bahkan tak surut sedikit pun disaat kesadaran Zainab terlihat mengiba, aku bisa melihat itu dengan reaksi bapak Zainab menanggapi gamitan tangan anaknya, segera ia dekatkan mulutnya ke telinga Zainab, membimbing Zainab berucap “La Ilaha Illalah”, Zainab menirukan kata itu dalam satu tarikan napas yang panjang, lalu tidak ada napas susulan, itu napas terakhir yang memicu tangisan bapaknya meledak. Mendengar ledak tangisan Pak Ju’da, bapak Zainab, aku tahu Zainab sudah pergi, aku memeluk jasadnya erat seolah dengan itu ia akan kembali, tapi tidak, ia terbujur kaku. Rumah Zainab kini gegap suara tangisan yang susul menyusul, aku tahu lebih daripada diriku, Pak Ju’da dan Agam adik Zainab yang paling kehilangan, di tempat lain juga, ada yang kehilangan, ia kini telah kehilangan seseorang yang menantinya.

Rabu, 17 Februari 2016

"LIDAH"

Lidah adalah senjata yang menghancurkan hidup seseorang bisa dengan sekali sabetan,
adalah jurus untuk membuai seseorang dengan gelak rayauan,
adalah amunisi untuk melukai hingga terenyuh tak karuan.

Lidah, ialah kata.
Kata, dengannya segala sesuatu akhirnya bermula,
ketika Pemilik Lidah hanya berkata "Kun" maka jadilah segala,

Kata, adalah yang memulai segala,
karenanya amat perlu ia dijaga, sebelum hancur segala olehnya,
lidah, jangan terlalu berani kau berkata-kata pada orang yang berlidah,
sebab jika sekiranya kau pun disabet lidahnya, kau takkan mampu menahan hina.

Kata, adalah dirimu sendiri yang pertama-tama paling pantas bisa kau katai,
jika kau bahkan tak terima dirimu dikatai olehmu, lalu kenapa orang lain berani kau maki?
lidah, jika kau menjaganya, kau telah menciptakan damai,
sedang damai adalah jalan agama yang paling sejati.

Widara
18 Februari 2016