Selasa, 23 Februari 2016

Untuk yang Menanti Jodoh

Perjalanan cinta adalah sebuah kisah,
kisah sedikit banyak membentuk siapa kita hari ini,
tidak hanya itu, kisah kadang menjadi belenggu yang memasung langkah,
tapi juga, kisah justru membuat kita kuat berlari.

Bagaimana kualitas diri kita akan terlihat dari bagaimana kita menyikapi kisah,
dan kemungkinan masa depan kita tergantung bagaimana kita memperlakukan kisah,
seperti, akan sulit kita menjemput cinta masa depan, jika terkungkung pada bayang-bayang kisah cinta yang sudah,
yang sudah adalah terlanjur, siapapun yang akan datang sebagai masa depan berhak bebas dari perlakuan akibat ingatan dengan kisah yang pernah.

Ketika kita berdekret mengusaikan kisah dengan yang dulu,
tidakkah harusnya segala tentangnya sudah berhenti di situ?
kebanyakan kita melepas cinta disaat kita belum mengelarkan yang perlu,
hingga akhirnya cinta masa depan selalu menanggung rasa cemburu.

Saat hati teguh menanti jodoh, ku kira
hal yang pertama mesti diinsyafi adalah kelegaan,
melegakan diri dari apa yang sudah, menghargai yang pernah hanya sebatas pembelajaran,
melegakan diri dari ketidakpantasan yang sudah, menggantinya dengan keapikan.

Siapa pun yang akan datang,
ia berhak merasa betah!

#Widara
24 Januari 2016

Senin, 22 Februari 2016

MATI

Aku bergidik tiap mengingat mati.
ku kira itu satu-satunya, namun semua berubah sejak rindu menyerang,
mati, ku kira sudah cukup menjadi momok yang mengusik ketenangan,
lalu rindu datang menyempurnakan segala kegusaran.

Setiap Pagi, selalu cukup menakutkan karena ingatan mati tak pernah lindap,
dan pagi, semakin sempurna seramnya karena diimbuh ingatan tentangmu,
dan mati semakin mengerikan semenjak mengenalmu,
aku takut, mati menyudahkan penantianku akan dirmu,
takut kalau-kalau mati menjadi penggenap dosaku,

Kau dan mati, persamaannya adalah kengerian yang tidak lepas dariku,
tidak mungkin.
Kenapa rindu selalu menjadi hal yang tidak mudah diselesaikan?
seperti keinginan bertemu dengan Tuhan untuk menuntaskan rindu,
tapi sekaligus ketidakinginan untuk melalui proses yang disebut mati.

#Widara
23 Februari 2016

Kamis, 18 Februari 2016

SURAT PERKENALAN (PEREMPUAN MENGERTI)

Assalamualaikum Abdillah,
Namaku Satia, Ara Satia aku 19 tahun, terancam 20 tahun sebentar lagi, hanya hitungan detik dikalikan delapan hari, aku suka bulan, saat aku menulis surat ini, ini tepat pukul 19.02 Waktu Jam Dinding Tua ayahku, jam yang konon dibeli sehabis panen jagung ayahku sekitar 6 bulan 22 hari sebelum aku bersarang di perut brojol ibuku, hebat, ayahku bahkan tahu dalam laga mana ia berhasil mencetakku hingga bertengger di gawang ibu, soal jam, memang dibiarkan tak diganti, "biar jamnya usang karna waktu juga akan usang", begitu kata ayahku, tapi menurutku jika sudah rusak mau tak mau akan diganti, karna kita mesti tahu berputarnya waktu yang usang ini, kau sependapat denganku Abdillah? Kalau tidak, tidak apa-apa, aku memang telah mendengar bahwa kau cukup egois.
Jangan kaget dengan suratku ini Abdillah, percayalah aku bukan wanita cantik dari barat, juga bukan anak konglomerat, bukan putri seorang aristokrat (apa itu aristokrat Abdillah? Aku hanya menggunakannya karna Zainab sering menyebutmu begitu, dan biar suratku sedikit mencuri perhatianmu aku terpaksa menggunakan istilah yang tak ku tahu, tidak apa-apalah, nanti juga akan ku tahu), seperti yang ku katakan di atas ayahku pernah memanen jagung, berarti ayahku bertani jagung, kau pasti akan langsung pahamkan? bahwa aku anak petani jagung setelah di paragraf sebelumnya aku sedikit menyinggung soal jam dinding, jadi aku tidak perlu mengatakan bahwa aku anak petani jagung (apa kalimat ini menunjukkan bahwa aku sudah mengatakannya? Ah entahlah) yang ingin ku katakan aku bukanlah seseorang yang luar biasa, aku hanya anak petani jagung (aku mengatakannya lagi, tidak apa-apa, takutnya kau tidak mengerti) ayahku memiliki 6 ha luas lahan yang ditanami jagung, bisa tiga kali panen setahun, hebat bukan? Kau percaya? Aku juga tidak percaya jika jadi kau, maka datanglah ke kampungku biar kau lihat sendiri, bila tak benar begitu, mungkin aku memang sedang bergurau, tapi tidak, aku serius Abdillah, bisalah para insinyur pertanian itu berguru pada ayahku, jika kau datang ku ajak kau menikmati jagung ayahku. Ayahku hebat Abdillah dia akan berpuisi jika satu batang jagungnya saja diserang hama, maka bayangkan berapa puisi ayahku hingga hari ini. Ah kenapa aku mesti menceritakan ayahku? Bukan itu maksud surat ini.
Saat aku tiba di paragraf ini, sekarang pukul 19.12 masih berdasarkan waktu jam dinding usang ayahku. Kenapa aku selalu melihat jam? Zainab berkata padaku "waktu juga menghitungmu, maka hitunglah balik, biar kau tak kalah", karna itu aku sering melihat jam, setidaknya sejak 6 bulan belakangan ini, semenjak aku mengenal Zainab.
Malam ini angin meliuk-liuk, bulan menggantung indah 1/6 dari lingkaran purnama Abdillah, begitulah juga surat ini akan bercerita, tentang 1/6, tentang aristokrat, tentang kemasyhuran, tentang keluguan, tentang nisan tanpa nama. Surat ini akan terbagi dalam beberapa rangkaian, akan ku ceritakan tentang wanita yang kau gasak hatinya dengan janji cinta dan kedatangan yang tak kunjung kau penuhi, Zainab, wanita dengan wajah yang kusai masai lantaran menantimu setiap pagi hingga malam lelap di bawah pohon mangga rimbun di depan rumahnya, seperti janjimu, akan bertemu lagi dengannya di situ, tapi kau memberinya janji semu, setidaknya aku layak mengatakan begitu.
Sesuai kataku surat ini akan berangkai, maka sebagai awal ku rasa cukup dulu sampai di sini, kau sudah tahu sedikit siapa aku dan apa maksud suratku, pada surat selanjutnya aku akan mulai bercerita sesuai apa yang ku katakan di atas tentang 1/6 dan bla bla bla tentang Zainab!!
Tinta pulpenku nyaris habis, aku masih membutuhkannya untuk menulis puisi selepas shalat subuh sebentar, aku tak bisa membeli pulpen lain lagi, tak ada toko yang buka malam begini, ini pelosok Abdillah kau tahu itu.
Ku titip surat ini pada Amanah, katanya ia pernah melihatmu di Kota Bedebah, entah bagaimana surat ini akan sampai padamu, kalau surat ini sampai ke tanganmu, maka aku takkan kapok menitip surat pada Amanah, 3 bulan sekali ia ke Kota Bedebah, istri dan anaknya ada di sana, ah sudahlah tintaku bisa habis sebelum sempat menggurat puisi. Nantikan rangkaian suratku Abdillah.

Hormatku
Satia (Sahabat, Saudari, Tempat Curhat, Kawan Sehati, Pemerhati Zainab)
Desa Nangka

22 Februari 1998

NISAN TANPA NAMA (PEREMPUAN MENGERTI)


Sepi, bahkan tak ada desau suara angin, segala yang disekitarku diam mematung, matahari bisu, entah ia enggan mengangkat bicara atau ia pun tengah segan pada apa yang dilihatnya, aku tak menanyakan itu pada matahari, tepatnya tak tahu bagaimana caranya. Yang ada aku tenggelam dalam kesenyapan itu, mulutku bungkam, air mata yang berbicara, membicarakan apa? Kesedihan ku kira, pada apa? Pada bagaimana cara kehidupan membuat kita belajar tentang sesuatu yang belum siap kita enyam, seperti yang kadang ku lakukan jika penjelasan guru matematika tidak ku mengerti, pilihanku selalu jatuh pada menangisi diri, bersedih atas kebodohan atau mungkin atas pelajaran yang memang sulit.

Cinta, menurut mu itu sebuah pelajaran atau ujian kehidupan? Kau akan menentukan sendiri kemudian, atau bahkan sudah, yang pasti saat ini cinta membawa sahabatku ke liang lahat dengan mendekap penantian yang sudah, ia menyelesaikan penantiannya dengan terhormat, Zainab Ju’da namanya, ia kini terbaring dibawah gundukan tanah yang tengah ku pandangi di sore yang sepi. Gundukan tanah, tertancap batu di atasnya, lazim disebut nisan, hanya itu, sekedar batu, tanpa nama, sehingga yang tak ikut melayatnya atau tak pernah mau tahu niscaya tak kan tahu gerangan yang bersemayam di bawah pusarah yang masih basah ini.

Sesuai wasiatnya, Zainab ingin kuburannya tidak ditancapkan nisan yang bertuliskan namanya, berulang kali ia mengulang itu selama sakitnya “Tia, kau bilang pada Bapakku, jika aku mati, tolong pada nisanku jangan dituliskan nama, jangan tuliskan apa-apa, aku sudah bilang pada bapakku banyak kali, tapi jangan sampai ia lupa maka kau bilanglah lagi padanya jika aku mati” nadanya memelas sesekali tersenggal oleh napasnya yang tak sampai, berulang kali ia merajuk begitu padaku, padahal aku tak pernah berkata keberatan untuk melakukannya tapi tetap saja ia mengulanginya, entah karena baginya aku juga sama pelupanya dengan bapaknya atau entah karena ia bersungguh-sungguh dengan keinginannya itu, dan ku kira itu karena ia tak ada hal lain yang tersisa untuk disampaikan selain itu disaat sakitnya beranjak parah dan semakin membuatnya tersiksa.

Hari ini, Jumat 20 Februari 1998, Zainab menutup usianya, selepas sholat Subuh tadi, aku di sampingnya, detik-detik sebelum ruhnya kembali pada Yang Memiliki, pandanganku tak pernah lepas darinya, kami bahkan sempat bertemu pandang lalu saling melempar senyum untuk terakhir kali. Subuh tadi , aku dengan kedua orangtuaku Sholat di Masjid, seperti biasa Bapak Zainab menjadi imam, setelah usai sholat ia berbicara dengan bapakku entah apa, belakangan setelah mereka berbincang baru aku tahu bahwa bapak Zainab meminta ijin pada ayahku untuk mengajakku singgah barang sebentar melihat Zainab di rumahnya, Ayahku tidak masalah, bahkan ayah dan ibuku menemani  ke rumah Zainab sesaat setelah bapaknya memintaku.


Aku akhirnya tahu sore ini, alasan bapak Zainab memintaku datang menemui Zainab Subuh tadi, karena itu adalah terakhir kalinya dan atas permintaan Zainab sendiri. Bahkan hingga detik ini aku kagum padanya, ia tahu kapan ia akan usai, ia tahu penantiannya akan segera berhenti dengan sendirinya, ia, Zainab selalu membuatku terpukau bahkan dengan cara tergugu pilu, sebelum ia pulang pada Pemiliknya, sempat ia membisikkan kata yang terngiang hingga kini, hingga nanti juga ku kira bahkan hingga aku sudah menjadi seorang pelupa, bisiknya “Tia, hidup adalah tentang menunggu”, mendengar itu aku sontak memandangnya mencari makna atau juga berharap ia mau menguraikannya, menurutku pernyataannya masih saru, tapi tidak ia tidak menjawab, hanya memandang balik, kami bertemu pandang lalu ia berbalik ke arah bapaknya, menggamit jari bapaknya yang berada di sisi sebelah lainnya, interaksi bathin orangtua dan anak bahkan tak surut sedikit pun disaat kesadaran Zainab terlihat mengiba, aku bisa melihat itu dengan reaksi bapak Zainab menanggapi gamitan tangan anaknya, segera ia dekatkan mulutnya ke telinga Zainab, membimbing Zainab berucap “La Ilaha Illalah”, Zainab menirukan kata itu dalam satu tarikan napas yang panjang, lalu tidak ada napas susulan, itu napas terakhir yang memicu tangisan bapaknya meledak. Mendengar ledak tangisan Pak Ju’da, bapak Zainab, aku tahu Zainab sudah pergi, aku memeluk jasadnya erat seolah dengan itu ia akan kembali, tapi tidak, ia terbujur kaku. Rumah Zainab kini gegap suara tangisan yang susul menyusul, aku tahu lebih daripada diriku, Pak Ju’da dan Agam adik Zainab yang paling kehilangan, di tempat lain juga, ada yang kehilangan, ia kini telah kehilangan seseorang yang menantinya.

Rabu, 17 Februari 2016

"LIDAH"

Lidah adalah senjata yang menghancurkan hidup seseorang bisa dengan sekali sabetan,
adalah jurus untuk membuai seseorang dengan gelak rayauan,
adalah amunisi untuk melukai hingga terenyuh tak karuan.

Lidah, ialah kata.
Kata, dengannya segala sesuatu akhirnya bermula,
ketika Pemilik Lidah hanya berkata "Kun" maka jadilah segala,

Kata, adalah yang memulai segala,
karenanya amat perlu ia dijaga, sebelum hancur segala olehnya,
lidah, jangan terlalu berani kau berkata-kata pada orang yang berlidah,
sebab jika sekiranya kau pun disabet lidahnya, kau takkan mampu menahan hina.

Kata, adalah dirimu sendiri yang pertama-tama paling pantas bisa kau katai,
jika kau bahkan tak terima dirimu dikatai olehmu, lalu kenapa orang lain berani kau maki?
lidah, jika kau menjaganya, kau telah menciptakan damai,
sedang damai adalah jalan agama yang paling sejati.

Widara
18 Februari 2016