Kamis, 18 Februari 2016

NISAN TANPA NAMA (PEREMPUAN MENGERTI)


Sepi, bahkan tak ada desau suara angin, segala yang disekitarku diam mematung, matahari bisu, entah ia enggan mengangkat bicara atau ia pun tengah segan pada apa yang dilihatnya, aku tak menanyakan itu pada matahari, tepatnya tak tahu bagaimana caranya. Yang ada aku tenggelam dalam kesenyapan itu, mulutku bungkam, air mata yang berbicara, membicarakan apa? Kesedihan ku kira, pada apa? Pada bagaimana cara kehidupan membuat kita belajar tentang sesuatu yang belum siap kita enyam, seperti yang kadang ku lakukan jika penjelasan guru matematika tidak ku mengerti, pilihanku selalu jatuh pada menangisi diri, bersedih atas kebodohan atau mungkin atas pelajaran yang memang sulit.

Cinta, menurut mu itu sebuah pelajaran atau ujian kehidupan? Kau akan menentukan sendiri kemudian, atau bahkan sudah, yang pasti saat ini cinta membawa sahabatku ke liang lahat dengan mendekap penantian yang sudah, ia menyelesaikan penantiannya dengan terhormat, Zainab Ju’da namanya, ia kini terbaring dibawah gundukan tanah yang tengah ku pandangi di sore yang sepi. Gundukan tanah, tertancap batu di atasnya, lazim disebut nisan, hanya itu, sekedar batu, tanpa nama, sehingga yang tak ikut melayatnya atau tak pernah mau tahu niscaya tak kan tahu gerangan yang bersemayam di bawah pusarah yang masih basah ini.

Sesuai wasiatnya, Zainab ingin kuburannya tidak ditancapkan nisan yang bertuliskan namanya, berulang kali ia mengulang itu selama sakitnya “Tia, kau bilang pada Bapakku, jika aku mati, tolong pada nisanku jangan dituliskan nama, jangan tuliskan apa-apa, aku sudah bilang pada bapakku banyak kali, tapi jangan sampai ia lupa maka kau bilanglah lagi padanya jika aku mati” nadanya memelas sesekali tersenggal oleh napasnya yang tak sampai, berulang kali ia merajuk begitu padaku, padahal aku tak pernah berkata keberatan untuk melakukannya tapi tetap saja ia mengulanginya, entah karena baginya aku juga sama pelupanya dengan bapaknya atau entah karena ia bersungguh-sungguh dengan keinginannya itu, dan ku kira itu karena ia tak ada hal lain yang tersisa untuk disampaikan selain itu disaat sakitnya beranjak parah dan semakin membuatnya tersiksa.

Hari ini, Jumat 20 Februari 1998, Zainab menutup usianya, selepas sholat Subuh tadi, aku di sampingnya, detik-detik sebelum ruhnya kembali pada Yang Memiliki, pandanganku tak pernah lepas darinya, kami bahkan sempat bertemu pandang lalu saling melempar senyum untuk terakhir kali. Subuh tadi , aku dengan kedua orangtuaku Sholat di Masjid, seperti biasa Bapak Zainab menjadi imam, setelah usai sholat ia berbicara dengan bapakku entah apa, belakangan setelah mereka berbincang baru aku tahu bahwa bapak Zainab meminta ijin pada ayahku untuk mengajakku singgah barang sebentar melihat Zainab di rumahnya, Ayahku tidak masalah, bahkan ayah dan ibuku menemani  ke rumah Zainab sesaat setelah bapaknya memintaku.


Aku akhirnya tahu sore ini, alasan bapak Zainab memintaku datang menemui Zainab Subuh tadi, karena itu adalah terakhir kalinya dan atas permintaan Zainab sendiri. Bahkan hingga detik ini aku kagum padanya, ia tahu kapan ia akan usai, ia tahu penantiannya akan segera berhenti dengan sendirinya, ia, Zainab selalu membuatku terpukau bahkan dengan cara tergugu pilu, sebelum ia pulang pada Pemiliknya, sempat ia membisikkan kata yang terngiang hingga kini, hingga nanti juga ku kira bahkan hingga aku sudah menjadi seorang pelupa, bisiknya “Tia, hidup adalah tentang menunggu”, mendengar itu aku sontak memandangnya mencari makna atau juga berharap ia mau menguraikannya, menurutku pernyataannya masih saru, tapi tidak ia tidak menjawab, hanya memandang balik, kami bertemu pandang lalu ia berbalik ke arah bapaknya, menggamit jari bapaknya yang berada di sisi sebelah lainnya, interaksi bathin orangtua dan anak bahkan tak surut sedikit pun disaat kesadaran Zainab terlihat mengiba, aku bisa melihat itu dengan reaksi bapak Zainab menanggapi gamitan tangan anaknya, segera ia dekatkan mulutnya ke telinga Zainab, membimbing Zainab berucap “La Ilaha Illalah”, Zainab menirukan kata itu dalam satu tarikan napas yang panjang, lalu tidak ada napas susulan, itu napas terakhir yang memicu tangisan bapaknya meledak. Mendengar ledak tangisan Pak Ju’da, bapak Zainab, aku tahu Zainab sudah pergi, aku memeluk jasadnya erat seolah dengan itu ia akan kembali, tapi tidak, ia terbujur kaku. Rumah Zainab kini gegap suara tangisan yang susul menyusul, aku tahu lebih daripada diriku, Pak Ju’da dan Agam adik Zainab yang paling kehilangan, di tempat lain juga, ada yang kehilangan, ia kini telah kehilangan seseorang yang menantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar